Sepanjang perjalanan dengan taksi, di kiri dan kanan, aku hanya melihat
karang-karang tajam tumbuh dari dalam tanah. Kota ini mengering dengan
hebatnya. Pepohonan yang berdiri meranggas dan panas yang memicingkan mata
memberikan lukisan fatamorgana di kejauhan. Syukurlah setelah mendarat di
Bandara El Tari Kupang yang mendidih, aku duduk di dalam taksi dengan penyejuk
udara yang masih berfungsi baik -sedikit mendinginkan kepalaku yang seakan
meledak dan menyegarkan tubuhku sebelum aku menyeretnya kepada petualangan yang
lebih panas lagi dengan menantang suhu udara 36 derajat Celcius. Mendengarkan
sang sopir taksi berbicara banyak soal hawa panas yang sempat menggila beberapa
hari yang lalu, aku tak mau banyak berkomentar. Aku hanya merasa kepanasan dan
berpikir bahwa banyak bicara hanya akan semakin membuatku dehidrasi. Kepalaku
yang mulai dingin karena AC, bekerja cukup serius dengan memikirkan betapa
sibuknya para petugas pemantau titik api –mengantisipasi terjadinya kebakaran
besar pada bentang alam kars yang banyak ditumbuhi semak belukar yang tengah
mengering diterpa kemarau panjang ini.
Perjalananku dari Jawa ke Pulau Timor tidak begitu melelahkan dengan
pesawat udara. Dari Yogyakarta, dengan Air Asia, aku turun di Bandara
Ngurah Rai Denpasar, Bali untuk transit. Hanya sekitar satu jam perjalanan saja
dari Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta ke Bali. Mengganti pesawatku dengan Garuda Indonesia, setelah menempuh jarak kira-kira satu setengah jam di angkasa, aku
mendarat di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Siang itu bandara
kecil ini cukup sibuk. Seakan tak begitu peduli akan rasa gerah, ratusan orang
berdesak-desakan menanti tas mereka berjalan pada mesin baggage conveyor.
Kotamadya sekaligus ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur ini merupakan
kotamadya terbesar di pesisir Teluk Kupang, bagian barat laut Pulau Timor.
Sebagai kota terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang menghidupi
masyarakat multikultur yang terdiri dari pelbagai suku bangsa. Mereka antara
lain suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores, dan kaum pendatang dari Ambon
dan Jawa. Aku begitu bergairah. Taksi akan membawaku kepada sebuah kota kecil
yang hidup dan berwarna.
Setiap hari, penjual jagung bakar berderet di sepanjang trotoar Jalan El
Tari, di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur. Tempat ini menjadi salah
satu lokasi favorit pertemuan orang muda Kupang. Aku tinggal di sebuah hotel di
Jalan Soeharto dan tidak sulit untuk menemukan oleh-oleh khas Kupang di sekitar
situ. Kain tenun dengan corak-corak yang cantik dari beragam daerah se-Nusa
Tenggara Timur menjadi pemandangan khas di setiap etalase toko. Mereka memiliki
motif yang berbeda-beda, mulai dari Sumba, Kupang, Timor Tengah, Belu, Alor,
hingga Rote Ndao. Harga disesuaikan dengan ukuran kain, mulai dari 15.000
rupiah hingga jutaan rupiah. Kekhasan lain adalah miniatur sasando, alat musik petik asal Pulau Rote yang terbuat dari bambu dan anyaman daun
lontar yang mewadahinya seperti mangkok. Aku ingat ketika aku masih kecil
gambar sasando sempat menghiasi pecahan uang kertas 5000 rupiah. Ada juga
miniatur ti’i langga, 'sombrero'-nya orang
Rote. Dibuat secara turun temurun dengan daun lontar, topi adat itu melingkar
dengan sebuah tanduk kecil berdiri tegak di atasnya. Sangat gagah.
Kupang. Di sanalah angkot (angkutan kota) yang disebut sebagai bemo, dihias begitu semarak dan berseliweran dengan musik funk-nya yang memekakkan telinga sehingga kendaraan umum ini lebih mirip
diskotik keliling. Seperti kebiasaan kebanyakan ‘co-pilot’ angkot
di Indonesia, mereka berdiri bergelantungan di pintu angkot dan
melambai-lambaikan tangan sambil meneriaki calon penumpang mereka yang menunggu
di tepi jalan.
“Ke mana Nona! Ke mana Nona!” Teriak seorang pria muda hitam manis sambil
melambai-lambaikan tangannya kepadaku di suatu siang.
Topi koboi dan adegan bergelantungannya di mobil mengingatkanku pada
Indiana Jones. Aku tersenyum dan menggeleng kepadanya karena aku lebih memilih
untuk jalan kaki. Tetapi dia tidak segera memalingkan kepalanya dariku, malahan
menatapku sambil terus tersenyum hingga bemo yang dia gelayuti semakin jauh tak
terlihat ditelan jarak pandang.
Aku senang udara panas yang gila ini tidak melelehkan niatku mengumpulkan
warna-warni kota kecil di Timor barat ini. Menengok Pasar Inpres Naikoten yang
hanya berjarak sekitar 300 meter dari hotel yang kusinggahi, aku menemukan
banyak wajah yang tak pernah lepas dari senyum manis. Aku tidak pernah berjalan
cukup lama di pasar tradisional. Sampah yang menumpuk, kawanan lalat, genangan
air, dan tanah yang becek adalah pemandangan biasa di hampir setiap pasar
tradisional Indonesia –dan itu sama sekali tidak menarik minatku.
Tetapi petualanganku di pasar tradisional kali ini serasa begitu berbeda.
Di tepi jalan masuk menuju ke pasar aku disambut perempuan berkulit gelap nan
manis dengan mulut belepotan merah kejinggaan. Dia mengunyah sirih. Perempuan
itu belum begitu tua. Mungkin usianya masih 40 tahunan seperti ibuku. Aku
mememeriksa sekeliling dan memang benar aku menemukan beberapa penjual buah
sirih, lengkap dengan buah pinang mulai dari yang masih basah hingga yang sudah
dikeringkan. Ibu muda yang mengunyah sirih itu menarik perhatianku dan
menyeretku semakin masuk ke dalam pasar. Tradisi itu juga kami miliki di Jawa,
tetapi kita tahu kita sudah sulit menemukan perempuan muda mengunyah sirih,
bahkan di kampung-kampung sekalipun. Aku ingat bahkan mendiang nenekku yang
tinggal di kampung juga tidak mengunyah sirih. Dari pemandangan kecil ini aku
menyadari bahwa Jawa telah begitu tergerus –bagaimana anjuran dokter gigi
moderen begitu mudahnya menggantikan tradisi lawas itu dengan pasta gigi.
“Silakan, Nona! Silakan Nona!” Aku berjalan semakin jauh ke dalam pasar,
diiringi panggilan-panggilan di sisi kanan dan kiriku dari para penjual yang
menawarkan dagangan mereka. Sayuran dan buah-buahan berwarna cerah dan segar
memanjakan mataku. Sesekali aku berhenti untuk melihat-lihat dan bertanya.
“Boleh difoto, boleh difoto!” Kata mereka dengan ramah, melihat kamera yang
terkalung di leher aku. Aku menyadari pasar bagai magnet raksasa yang telah
menyedot orang-orang beragam identitas menjadi satu. Menggerakkan roda
perekonomian akar rumput, di sanalah orang berkumpul dan berinteraksi tanpa
memikirkan latar belakang mitra mereka; sesama penjual atau terhadap pembeli.
Ketika sebuah kota dilanda konflik, pasar seakan menjadi 'markas agen
perdamaian', karena di sanalah satu-satunya tempat bernaung bagi orang-orang
yang berbeda untuk kembali membangun kesejahteraan dan meninggalkan pertikaian
yang memiskinkan kehidupan. Di beberapa kasus konflik besar di Indonesia, sebut
saja konflik Ambon, pasar menjadi titik kehidupan perdamaian masyarakat. Mereka
melupakan siapa Kristen, siapa Islam, dan hanya berpikir untuk bagaimana
kehidupan ini menjadi damai sehingga lebih menyejahterakan. Aku telah melihat
keberagaman itu diletakkan dengan sangat indah di pasar. Seorang perempuan
berjilbab tertawa-tawa dengan rekannya sesama penjual, seorang pria berkalung
salib besar di lehernya. Mereka bercanda di siang yang terik itu.
“Hai Nona! Fotolah nona yang berbaju kuning itu!” Teriak si pria berkalung
salib kepadaku sambil menunjuk rekannya si perempuan berjilbab.
“Dia cantik, cocok jadi artis Take Me Out Celebrity!” Lanjutnya. Bahasa
Indonesianya sangat khas, bercampur dengan bahasa daerah dan logat Timor yang
kental.
Mereka terbahak-bahak bersama di depan pelancong kecil berkamera besar di
leher yang terengah-engah kepanasan. Hai! Indah, bukan? Ini di pasar! Dan agen
perdamaian itu justru bukan orang-orang yang duduk mengelilingi meja diplomasi.
Padahal tidak jauh dari situ, aku telah mendengar bagaimana sebuah masjid di
kelurahan kecil di Kota Kupang hampir gagal dibangun karena penolakan
masyarakat sekitarnya –aku memahami betul bagaimana dimanapun kecongkakan umat
mayoritas selalu menimbulkan masalah dan aku telah melihat betul bagaimana
pasar bekerja dengan baik meluruhkan habis perbedaan-perbedaan yang potensial
menimbulkan konflik berdarah-darah itu.
Pasar itu menyimpan banyak orang yang mudah tersenyum kepadaku, yang
membuatku makin betah berlama-lama berkeliling di dalamnya. Seorang bapak
penjual ikan menunjukkan kepadaku seekor ikan tuna raksasa dan memberikan
sinyal bahwa aku boleh memotretnya.
“Ini termasuk ukuran kecil. Masih ada yang lebih besar lagi!” Senyumnya
bangga.
Di sini hasil laut begitu kaya. Aku telah berkeliaran ke Pasar Malam
Kampung Selor semalam. Jangan bayangkan Pasar Malam seperti taman ria di Jawa
yang membuka wahana permainan bianglala atau kuda putar. Pasar Malam di Jalan
Garuda yang mulai buka pukul 17:00 WIT ini adalah tempat favorit warga Kupang
memanjakan lidah mereka dengan dinner yang nikmat. Di siang hari, kawasan yang
dihuni oleh sebagian besar kaum pendatang ini adalah ‘china town’,
sebuah pertokoan dengan beragam komoditas, mulai dari makanan kecil hingga
perlengkapan rumah tangga. Begitu semarak.
Pasar yang terletak di sisi selatan pantai ini memang didominasi sajian
masakan Jawa seperti pecel lele atau bakso, tetapi sea food adalah menu utama yang selalu menjadi
primadona bagi siapa saja yang singgah makan malam di sana. Udang dan cumi-cumi
beraroma manis ketika dibakar dan membangkitkan selera makan. Ikan bakar
berukuran besar plus sambal khas Kupang dengan harga yang bersahabat cukup
mengesankan pada makan malam pertamaku di kota ini. Sekedar mengingatkan, se’i tidak boleh dilewatkan di kota ini. Daging
sapi atau babi yang diasap dan dicampur susu, garam, dan rempah-rempah ini
begitu empuk dan lezat.
Masih di Pasar Inpres Naikoten, aku memotret seorang pria manis penjual
ikan. Dia memintaku memotretnya. Rekan-rekannya tertawa dan menggodanya ketika
kameraku menangkap wajahnya yang khas. Mereka tersimpan begitu ceria di frame jepretanku. Aku mulai terbiasa dengan
kerenyahan tawa mereka. Aku berpikir bahwa mereka selalu tertawa sepanjang
hari. Aku merasa petualanganku di kota ini begitu menghibur. Bemo yang berisik
dengan musik diskonya, keriaan di mana-mana, gereja-gereja kecil yang selalu
hingar bingar, sejuta alasan untuk ‘mengumpat’ “Oh Tuhan Yesus!” mulai dari
kaget diklakson bemo yang ugal-ugalan hingga terpeleset kulit pisang... Hidup
ini memiliki kelucuan yang selalu mengajak kita berhenti sejenak dari lelah
hidup, bukan?
Berpamitan kepada pasar, aku seakan dikembalikan kepada bagaimana hidup ini
selalu menyimpan kisah-kisah menyentuh yang menjadi penyeimbang –tidak
selamanya juga kita bisa tertawa atau bahagia. Awalnya mereka menggelitikku.
Tawa bocah-bocah kecil itu sungguh jauh dari kekhawatiran. Mereka menjagai
beberapa kaleng cabai sambil bercanda. Aku memotret mereka. Salah seorang dari
mereka lari menghindari kameraku.
“Beta malu-malu!” Teriaknya sambil tertawa.
Teman-temannya menertawakan dia. Salah seorang dari mereka tertarik kepada
kameraku.
“Kakak berburu berita-kah?”
Aku tersenyum. Tak menghiraukan pertanyaan bocah itu, aku mendekatinya,
merangkul bahunya dan bertanya, “Kamu kelas berapa?"
“Beta sonde sekolah.” Jawabnya.
Dia tidak sekolah. Jawaban itu menahanku bertanya lebih lanjut
–menyentakkan aku kepada rasa trenyuh dan pikiran mendalam bagaimana
bocah-bocah itu tercerabut dari masa kecil mereka dan harus bergelut dengan
dunia orang dewasa; kehidupan pasar dan segala carut marutnya. Tetapi gelak
tawa mereka sungguh lepas dan terdengar jauh dari kecemasan.
Di sudut pasar yang segera aku tinggalkan, sekelompok orang mengerumuni
kartu judi. Di sudut yang lain beberapa orang bertepuk tangan mengelilingi dua
ekor ayam jantan yang tengah beradu. Di pinggir pasar aku bertemu bocah kecil
berkopiah putih menuntun seorang pria tua buta...
Aku menyingkir beberapa kilometer ke Pantai Kelapa Lima -sejenak mengindar
dari riuh kota dengan segala tetek bengek masalahnya, berpaling kepada senja
cantik yang damai. Pantai yang surut membuka arena bagi anak-anak untuk bermain
atau berlarian. Kegemaranku adalah meneliti sampah yang terdampar. Mulai dari
bungkus makanan, sikat gigi, pistol mainan, hingga celana dalam pria. Segala
sesuatu membuat aku tergelitik untuk bertanya bagaimana petualangan
barang-barang pribadi itu bermula hingga teraduk laut dan sampai di pantai ini?
Aku tersenyum sendiri.
Dari Pantai Kelapa Lima, aku bergeser ke timur menuju pantai Lai Lai Besi
Kopan (LLBK). Dikembangkan oleh Teddy Tanone pada awalnya, pantai yang
sesungguhnya bernama Pantai Koepang ini akhirnya lebih dikenal sebagai Pantai
Teddy’s. Hampir sama dengan di Jalan El Tari, Teddy’s memiliki kekhasan jajanan
berupa jagung bakar yang disatroni oleh sebagian besar orang muda di setiap
sore. Di jaman Belanda, Lai Lai Besi Kopan dulunya adalah sebuah dermaga. Di
sana, di bantaran kiri teluk, Benteng Concordia berdiri kokoh di atas tebing
karang menghadap ke laut. Kini sisa benteng Belanda itu menjadi Markas Yonif
743/Praja Satya Yudha Kupang. Aku menatapnya dari seberang tebing.
Sudah seminggu aku singgah di kota yang mempesona ini. Pantai pasir putih
yang indah, laut biru yang cantik, perahu warna-warni yang terombang-ambing
tenang... Sambil terdengar sayup-sayup lagu Timor, semua itu membangkitkan rasa
romantisme Flobamora. Burung camar menukik sendirian dari ceruk gua karang di
bawah benteng dan sesekali menyambar ke air. Sepasang suami istri berjalan di
pasir mengikuti anak mereka yang berlarian kecil. Sang Bapak menangkap bocah
itu, dan mengangkatnya ke gendongan. Berpasang-pasang remaja bercengkerama
menatap senja. Aku selalu sendirian. “Tetapi suatu saat nanti, beta akan
kembali lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar